Aturan Khusus

Cici
3 min readFeb 24, 2024

--

Bukan Opini Hukum

Photo by Iñaki del Olmo on Unsplash

Minggu ini lagi nyobain baca buku sambil dengerin lagu, agar supaya nggak ngantuk. Walaupun agak susah konsentrasi tapi lumayan buat pencegahan ngantuknya.

Kebetulan lagu yang ku dengerin cuma satu, Hindia-Cincin.Lagu ini keren deh, ngemotivasi buat hidup nyantai-nyantai aja :D.Makasih Mas Bas. Karena dengerin di YouTube, aku gerilya baca-baca komen, dan nemu komen yang di pin sama Hindia, intinya sender cerita nggak nikah-nikah sama pasangannya meskipun udah pacaran 7 tahun karena biaya pernikahan di suku dia tinggi banget. Sedih.

Pernah denger nggak sih, selain dikasih mas kawin pihak perempuan juga berhak atas uang “tambahan”. Biasanya uang ini buat biaya resepsi. Ini bagian dari tradisi yang udah ada dari jaman nenek moyang.Nggak bermaksud memandang buruk suatu tradisi khususnya tradisi uang “tambahan” ini. Tapi salah satu tradisi yang sedikit odd menurutku karena rentan penyimpangan. Uang “tamabahn” ini penyebutannya beda-beda disetiap suku atau daerah, tapi mengusung konsep yang sama. Intinya, kalo ada dua orang yang mau nikah, pihak laki-laki harus kasih uang “tambahan”/hadiah ke keluarga cewek sekian dolar Amerika beserta pernak pernik lainnya, yang udah di request. Dan wajib dipenuhin sama pihak cowok, kalo nggak, ditunda atau batal. Kesannya take it or leave it gitu.

Aku sepenuhnya paham dengan tujuan tradisi ini, yaitu buat menghargai si wanita dan keluarganya yang udah membesarkan, mendidik, dan merawat. Apalagi punya gelar segala macem. Istilahnya pihak cowok harus mengapresiasi pihak cewek setinggi-tingginya dengan bentuk materi. Tapi sebenernya materi ini cuma simbol kali ya, aku juga nggak kepikiran bisa dilambangkan pake apa selain uang? Lebih repot kalo pihak cewek minta bikinin candi. Bayangin aja mau bangun candi di mana, tanah aja mahal banget. Kalo tanah murah biasanya sengketa. Uyuh ngurus tanah sengketa tuh.

Tapi aku jadi kepikiran sama sender dan cowok-cowok in general yang terjebak sama tradisi ini. Dan sebenernya aku udah cukup resah dari lama dari cerita-cerita yang beredar perkara ini. Maksudku, ini jadi kurang masuk akal kalo individunya harus berkorban demi tradisi yang dipegang.Kayak jaman Kartini aja. Daerah tempatku tinggal kebetulan juga punya tradisi semacam ini. Pernah ada sodara harus ambil pinjaman ke bank dengan nominal diatas 3800 USD, buat uang “tambahan”. Dayum. Yakin masih ada kasus-kasus serupa.

Nggak bermaksud ngehakimi keputusan finansial siapapun, justru bisa belajar banyak dari sini. Anggep aja itu sebuah pengorbanan. Tapi apa ini nggak terlalu maksa jatohnya? Kenapa nggak dibikin negosiable dan lebih nyantai. Pihak laki-laki dihargai dengan kemampuannya, dan pihak perempuan tetep merasa diapresiasi. Ini kan bukan norma hukum, harusnya bisa lebih luwes. Sifatnya bukan memaksa, jangan saklek. Wong hukum yang sifatnya tertulis dan memaksa aja bisa dinegosiasikan kok! Eh.

Asas lex specialis derogat legi generali mestinya bisa di terapin diperkara ini. Artinya aturan yang khusus mengenyampingkan aturan yang umum. Aturan umumnya uang “tamaban” itu keharusan, aturan khususnya uang “tambahan” emang keharusan tapi nggak boleh memberatkan. Kalo ada laki-laki dan perempuan siap nikah mbok ya di permudah aja, jangan dibegal dengan aturan yang sifatnya umum. Mestinya bisa sesuai kesepakatan, tapi banyak temuan nilainya ditentukan pihak keluarga cewek, meskipun kadang ada kesempatan tawar menawar, tetep alot. Alias nego tipis-tipis pun sulit. Kalo baca kisah Nabi Musa dan istrinya, langka banget orang tua kayak mertuanya Nabi Musa jaman sekarang mah.

Lebih luas lagi, tradisi ini juga bisa dikesampingkan dengan paham syariat. Apalagi parktik semacam ini juga terjadi dikeluarga muslim. Kalo uang ”tambahan” dijadiin tolak ukur kemampuan si cowok, kurang pas aja sih. Hidup kan uncertain, mau uang “tamabahan”nya 5000 USD juga belum tentu rumah tangganya sejahtera.

Jadi tuhhhh

--

--