May Day: Wajah Suram Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia

Cici
3 min readMay 1, 2021

--

Photo by Master1305 on Freepik

PRT di negeri ini masih masuk kedalam kategori sektor informal di mana tidak ada peraturan yang mengikat dan memberikan batas-batas tertentu, hak dan kewajiban yang termuat dalam hitam di atas putih antara PRT dan pemberi kerja terkait hubungan kerja yang seharusnya bersifat profesional. PRT adalah pekerja yang murni menawarkan kompetensinya untuk mengurus atau melakukan pekerjaan rumah tangga serta tidak memiliki tujuan untuk membantu. Namun, istilah yang digunakan selama ini adalah Pembantu/Asisten Rumah Tangga.

PRT rentan terhadap pelanggaran HAM berupa kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, pelecehan seksual, eksploitasi, korban trafficking, perampasan kemerdekaan dengan adanya larangan PRT mengikuti organisasi bahkan keluar rumah oleh pemberi kerja. Berdasarkan data JALA PRT terdapat 417 PRT yang mengalami kekerasan pada tahun 2020. PRT kesulitan mengakses informasi sehingga pengetahuan mengenai perlindungan begitu minim. Mereka tidak tahu cara melapor maupun meminta bantuan apabila mengalami kekerasan.

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan memaparkan bahwa sebagian besar PRT di Indonesia adalah perempuan, di bawah usia produktif yakni 15 tahun ke bawah, tidak ada batas waktu kerja selama pekerjaan belum terselesaikan maka PRT belum bisa berhenti melakukan pekerjaannya, dalam kondisi buruk, dan mengalami penghambaan (domestic slavery). Tidak ada libur mingguan, cuti haid, cuti tahunan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa pesangon, tidak menerima THR maupun bonus, serta pemotongan gaji bahkan gaji ditahan jika melakukan kesalahan. PRT tidak diapresiasi atas kerja keras nya yang penuh dedikasi dan tanggung jawab serta berisiko.

PRT merupakan pekerja dengan pendapatan terendah 20%-30% di bawah UMR, tidak ada tunjangan jaminan keselamatan kerja dan kesehatan. Mayoritas PRT adalah perempuan dari desa yang tingkat pendidikan nya rendah sehingga mereka kesulitan melakukan perlawanan terhadap pelanggaran HAM yang mereka alami. PRT tidak dapat menerima bantuan sosial dari pemerintah karena KTP daerah sehingga tidak dapat mengakses dan mendaftar sebagai penerima bantuan sosial pemerintah. PRT di Indonesia jauh dari kata sejahtera yang seharusnya diberikan oleh negara.

Gambaran wajah suram PRT di atas adalah aspek fundamental secara filosofis urgensi RUU PPRT yang sudah diperjuangkan selama 16 tahun. Selain itu, PRT tergolong angkatan kerja tidak diakui sebagai pekerja sehingga dianggap pengangguran dan tidak diakomodir dalam Peraturan Perundang Ketenagakerjaan Republik Indonesia.

RUU PPRT merupakan bentuk lex specialis yang akan memberikan hak-hak dan kewajiban bagi PRT dan pemberi kerja secara adil dan layak. Dengan disahkannya RUU ini maka PRT akan memperoleh perlindungan hukum dan kedudukan hukum yang jelas, mereka mempunyai perisai pelindung jika mendapatkan diskriminasi dari pemberi kerja.

Pembahasan RUU PPRT sudah dilakukan sejak tahun 2004. Pada periode 2009–2014 sempat dijadikan prioritas dan dibahas oleh DPR, namun pada periode 2014–2019 berhenti di Baleg DPR RI masuk dalam Prolegnas (waiting list).

Angin segar yang dinanti oleh 10 juta pekerja rumah tangga akhirnya berhembus. Badan Legislasi (Baleg) telah menyetujui RUU PPRT sebagai usul inisiatif DPR untuk dibahas dalam paripurna. Namun, Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI mengagalkan RUU PPRT dibawa ke dalam rapat paripurna yang diagendakan pada tanggal 16 Juni 2020 lalu, dengan alasan beberapa fraksi dari partai besar tidak setuju dengan hasil rapat Pleno Baleg yang menyepakati RUU PPRT dimasukkan ke dalam pembahasan rapat paripurna. Sehingga, sampai saat ini RUU tersebut kembali mangkrak.

Pihak-pihak yang mengusulkan terus mendesak DPR RI untuk segera disahkan nya RUU PPRT. Dikeluarkannya RUU ini dari prolegnas tahun 2020 membuat kegeraman terhadap DRPR RI yang dalam hal ini dianggap tidak konsisten. Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) salah satu aktor penting yang ikut merancang RUU PPRT, partai politik, Komnas Perempuan, Kementerian PPPA, Kongres Wanita Indonesia (Konawi), Maju Perempuan Indonesia, Komisi Perempuan Indonesia serta Aliansi Stop Kekerasan di Dunia Kerja mengawal dan mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT. Legislator juga turut mengupayakan supaya RUU PPRT dijadikan prioritas.

Hakikatnya sebuah kebijakan ditujukan untuk kepentingan umum, dari rakyat dan untuk rakyat. Dalam mengupayakan sebuah RUU PPRT seluruh lapisan masyarakat dapat berpartisipasi untuk membantu percepatan disahkannya RRU ini. Akademisi, mahasiswa, pelajar, aktivis, influencer hingga tokoh masyarakat dapat melakukan koalisi untuk mengupayakan RUU PPRT. Selain itu, masyarakat sipil dapat pula melakukan kampanye, sosialisasi, pendampingan terhadap PRT supaya muncul kesadartahuan tentang pentingnya melindungi ataupun menyelamatkan diri dari diskriminasi, kekerasan dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh pemberi kerja. Dengan begitu, bermodalkan pengetahuan dan dukungan dari masyarakat, PRT dapat melapor jika mengalami diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan.

Semakin banyaknya dukungan sebagai upaya pengesahan RUU PPRT, maka semakin banyak pula dampak dalam progres pengesahan RUU PPRT ini.

--

--